Dalil mengenai disyariatkannya gadai adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ۖ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi secara tidak tunai (berutang), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gadaian berupa baju besi.” (HR. Bukhari, no. 2068 dan Muslim, no. 1603).
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan dan hal ini telah dilakukan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini, dan tidak ada yang mengingkarinya.
Beberapa Catatan tentang Gadai
– Gadai ini nantinya digunakan untuk melunasi kewajiban pada orang yang memberikan pinjaman (ad-daain) ketika yang berutang (al-madiin) itu bangkrut (aflasa). Barang yang jadi gadaian itu dijual agar yang memberikan pinjaman bisa mendapatkan haknya ketika penunaian utang.
– Jaminan pada hak ini ada tiga yaitu: (1) syahadah (saksi) adanya utang, (2) rahn (gadaian), (3) dhaman (jaminan). Saksi ini untuk mencegah kekhawatiran adanya penentangan adanya utang. Sedangkan rahn (gadaian) dan dhaman (jaminan) untuk jaga-jaga apabila terjadi iflaas (kebangkrutan).
– Rahn itu boleh ketika safar maupun hadir (tidak bersafar), walaupun ayat menyebutkan tentang keadaan safar.
– Rahn adalah sebagai gantian dari kitabah (pencatatan utang) yang mengambil hukum sunnah.