Ketiga: Jual beli barang karena penjual dalam keadaan terdesak butuh uang sehingga ia menjual dengan harga murah.
Seperti ini masih dibolehkan menurut jumhur ulama. Alasannya, pembeli sebenarnya turut meringankan beban penjual.
Ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengusir Yahudi Bani Nadhir dari Madinah, beliau menganjurkan untuk mereka agar menjual barang-barang, agar tidak merepotkan dalam perjalanan. Mereka akhirnya menjual dengan harga lebih murah. Ini dalam keadaan terdesak.
Keempat: Hukum asal, jual beli dalam keadaan terpaksa tidak boleh dan tidak sah.
Namun, ada jual beli terpaksa yang dibolehkan:
– hakim menjual dengan paksa sisa harta orang yang jatuh pailit untuk menutupi utangnya, atau menjual barang agunan.
– jual paksa karena terkena proyek fasilitas umum (rumah sakit, taman kota, stasiun, terminal bis, perluasan jalan umum) ketika memenuhi syarat. Jual beli ini hukumnya sah. Syaratnya: (1) ganti rugi itu adil, tidak boleh di bawah harga pasar, (2) segera dibayar ganti rugi tadi, (3) pihak yang menggusur hanyalah pemerintah, (4) tujuan penggusuran untuk kepentingan umum (seperti masjid, jalan, jembatan), (5) penggusuran bukan untuk investasi pemerintah atau pribadi.
Umar itu pernah menggusur paksa rumah-rumah yang berada di sekitar Kabah, lalu ada uang ganti rugi. Hal ini diikuti juga oleh Utsman bin ‘Affan. Hal ini tidak ditentang oleh para sahabat lainnya sehinggga dapat menjadi ijmak.
Kelima: Masih bolehkah monopoli bisnis?
Akadnya disebut akan idz’an (secara bahasa, idz’an artinya ketundukan). Idz’an disebut dengan contract of adhesion, pihak yang kuat secara ekonomi memaksakan harga kepada pihak yang lemah.
Misal: pemasangan air bersih, telepon, listrik, angkutan umum, dan lainnya.
Para pelanggan sama sekali tidak bisa mengubah harga serta persyaratan yang dibuat.
Akad ini tidak mengandung unsur paksaan.
Hukum akad idz’an: boleh selama harga yang ditetapkan adil.